Jauhi Gibah
0

SALAH satu dosa besar dalam Islam adalah membicarakan keadaan seseorang termasuk aib orang lain atau ghibah. Apalagi jika yang dibicarakan ditambahkan atau dibumbui dengan cerita dia sendiri, sehingga bisa menimbulkan fitnah.
Dalam sebuah hadis disebutkan, bahwa orang yang berghibah diibaratkan memakan daging bangkai. “Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang muslim). (H.R. Bukhari).
Meski begitu, Imam An-Nawawi menyebut, tak semua ghibah itu haram. Dalam kondisi tertentu, seseorang bisa menceritakan perkataan atau perbuatan orang lain alias ghibah.
Dasar-dasar tersebut tercantum dalam Darul Mallah (1971) halaman 292 sebagaimana dikutip dari NU Online, Rabu (24/6). Berikut kutipan dasar dari Imam An-Nawawi tersebut.
اعلم أن الغيبة وإن كانت محرمة فإنها تباح في أحوال للمصلحة. والمجوز لها غرض صحيح شرعي لا يمكن الوصول إليه إلا بها ، وهو أحد ستة أسباب
Subscribe Youtube
Artinya: “Ketahuilah, ghibah–sekalipun diharamkan–dibolehkan dalam beberapa kondisi tertentu untuk suatu kemaslahatan. Hal yang membolehkan ghibah adalah sebuah tujuan yang dibenarkan menurut syar’i di mana tujuan tidak tercapai tanpa ghibah tersebut. Hal itu adalah satu dari enam sebab.”
Lebih lanjut, Imam An-Nawawi, menyebutkan enam keadaan yang memperbolehkan seseorang melakukan ghibah, yakni:

Pertama adalah ketika seseorang berada dalam pengadilan. Ia boleh menyebutkan aib orang lain untuk melaporkan perkara di depan hakim.
Kedua, yakni, ketika seseorang melaporkan pelanggaran hukum atau kejahatan kepada aparat negara.
Lalu
ketiga, seseorang boleh melakukan ghibah meminta fatwa (pertimbangan) kepada ulama. Hal ini bisa dilakukan untuk memberikan gambaran yang jelas bagi ulama dalam mengambil keputusan (fatwa).
Keempat, ghibah yang bertujuan mengingatkan kepentingan masyarakat. Biasanya ini dilakukan ahli hadist terhadap perawi yang bermasalah. Selanjutnya yang
kelima, seseorang bisa berghibah ketika bersaksi melihat kejahatan secara terang-terangan.
Dan terakhir yang
keenam, seseorang bisa ghibah untuk menyebut kekurangan fisik. Misalnya, diperbolehkan menyebut Abdullah yang buta. Akan tetapi, sebutan tersebut didahului kata ‘maaf’. Selain itu, sebutan itu tidak diniatkan untuk merendahkan orang lain.
.
Jauhi gibah !
ini cara mudah untuk menghindari gibah
.
.
sumber : www.inspira.tv
Postingan Lebih Baru
Postingan Lebih Baru
Postingan Lama
Postingan Lama
Komentar